Rabu, 19 November 2008

sebuah catatan tentang memaafkan...

pagi ini saya tertegun ketika membaca sebuah shout out: learn to forget and forgive... hmm... kepala saya langsung mengingat - ingat adakah keadaan yang memaksa saya untuk learn to forgive and forget.

Rasanya, seumur - umur saya hanya pernah sekali sulit memaafkan, yaitu pada mantan pacar. Tanpa perlu membeberkan kerangka ceritanya apalagi menyebutkan orangnya, saya mengalami masa yang sangat sulit untuk memaafkan. Bertahun - tahun setelah saya tidak bersamanya, bahkan setelah menemukan cinta sejati saya, maaf itu tak kunjung saya relakan. Marah, kecewa, dan sakit hati dibalut gengsi yang tinggi, membuat saya sangat anti memaafkan. Saya jadi pahit padanya. Tanpa sadar, saya ingin segala nasib jelek terjadi padanya. Perasaan yang sangat mengerikan. Sampai suatu hari menjelang pernikahan saya, saya terhenyak sadar. Tuhan telah memberikan yang terbaik buat saya. Dan itu bukan dia. Ketika tidak bersamanya, saya bisa menemukan yang terindah untuk hidup saya sendiri. Segala tembok itupun runtuh. Sayapun menulis selembar email padanya. Saya memaafkan, dengan segenap hati saya.

Namun sebangga - bangganya saya pada diri sendiri karena mampu memaafkan, proses diberi maaf sekaligus memaafkan diri sendiri, adalah hal yang jauh lebih sulit bagi saya. Suatu saat, saya berbuat salah pada suami (saat itu masih pacar)... salah yang sangat - sangat dalam, dan sangat - sangat menyakitkan buatnya. Juga tanpa perlu merinci urutan masalahnya, saya sadar kalau kesalahan saya tak mudah termaafkan. Namun, Tuhan memang menyediakan pribadi terhebat untuk menemani saya. Ia yang penuh dengan amarah dan perih, memaafkan saya. Sungguh - sungguh memaafkan. Sejak saat itu sampai kini (bahkan saya yakin sampai kapanpun), tak pernah diungkitnya kesalahan saya. Salah saya sudah masuk tong sampah. Ia mengerti arti memaafkan, ia mengamini sebuah maaf.

Kedua peristiwa ini mengubah hidup saya. Kesalahan - kesalahan, baik yang saya buat maupun diperbuat orang lain terhadap saya, menjadikan saya terasah dalam hidup. Sedikitpun saya tidak lupa segala penyebab maaf itu terungkap, bahkan sampai ke detil - detilnya. Walau maaf sudah terucap, saya merasakan peristiwa - peristiwa itu terjadi sebagai pelajaran yang tak kan terulang, dan tak ingin saya ulang. Saya mengingatnya sebagai pertanda bahwa kini saya telah bermetamorfosa menjadi pribadi yang lebih baik, lebih matang, dan lebih terarah.

Memaafkan memang esensi terpenting dari umat manusia. Sama seperti berbuat salah, yang adalah inti dari sifat manusiawi. Kita memang harus memaafkan.

Namun, melupakan... tidak... dengan melupakan, kita tak belajar... learn to forgive, yes... but don't forget...

Tidak ada komentar: